Kamis, 22 September 2011

Pengorbanan Seorang Ibu Part 3





Kehadiran kita di dunia justru mnambah beban dan tugas ( kewajiban ) ibu. Setelah sang ibu sehat dari persalinan, ia disibukan untuk merawat kita.

Di malam hari ia selalu melindungi kita dalam pelukannya. Ia berusaha memberikan rasa nyaman dan aman bagi anaknya. Namun apa balasan kita terhadap ibu ? kita justru berterimakasih dengan tangisan, rewel dan ngompol.

Banyangkan ! ketika ia sedang menikmati tidur lelap karna seharian letih mengurus anaknya kemudian tiba-tiba mendengar bayinya menangis. Padahal ia masih ingin memejamkan mata karena sangat mengantuk. Meskipun demikian, ibu kita tidak membiarkan anaknya menangis begitu saja. Tanpa mengeluh dan sakit hati, ia bangkit dan segera menggendong kita. Ia melepaskan popok yang basah dan menggantinya dengan popok bersih. Lalu menyusui kita dengan ikhlas sepenuh hati. Sementara kantuk menyerang begitu kuat.

Apa balasan kita ? bisakah kita melakukan hal itu mana kala ibu beranjak udzur dan segalanya harus dilanyani, seperti dia melanyani kita disaat itu ? tak perlu harus dijawab. Tapi renungkanlah dalam hati.

Sungguh tak sebanding pengorbanan ibu dengan pengabdian kita disaat sekarang kita dewasa. Ia begitu tulus ikhlas melanyani kita meskipun kondisi tubuhnya sangat lelah. Meski sekalipun ia sakit, namun tetap saja ia memperhatikan kita. Masyallah !

Ketika ia dalam keadaan udzur untuk minta dilanyani, apakah kita bisa seperti itu ibu kita ? sesungguhnya tidak banyak anak yang bisa berbakti sebagaimana pengorbanan ibunya ketika ia masih dalam ayunan.

Ia tak pernah pula menyerah untuk mengajari kita menjadi “ manusia “ . di saat senggang dengan lemah lembut ibu mengajari kita untuk bisa melihat. Dengan menggerak-gerakan jemarinya di dekat mata kita. Mana kala bayinya merespon kebahagiaan ibu semakin bertambah-tambah. “ alhammdulilah, anakku sudah bisa melihat.”

Ibu tak pernah bosan untuk selalu mengajari kita tersenyum. Ia selalu menciptakan rasa nyaman dan bahagia dengan senandung nyanyiannya yang merdu. Kita pun tertidur lelap dan merasa nyaman.

Tahukah kita ? seiring dengan pertumbuhan kita, ibu mengajari tengkurap. Kemudian mengajari agar kita bisa merangkak. Lalu berdiri. Rasanya, sang ibu tak pernah bosan-bosannya mencurahkan perhatiannya kepada sang anak.

Ketika kita berusia satu tahun, mulailah bisa berdiri. Saat itu kadang-kadang kita terjatuh dan menangis. Apakah ibu membiarkan ? tidak. Dengan kelembutannya, ia memungut dan menggendong kita. Ia baru melepaskannya kembali jika dirasa kita telah merasa aman dan nyaman dan tangisan tak terdengar lagi.

Jika saatnya berjalan tetapi kita masih belum bisa melangkahkan kaki, maka ibu kita merasa cemas dan gelisah. Ia mengkhawatirkan keadaan kita dan masa depan kita. Bagaimana nasib anaknya kelak jika cacat dan tidak mampu berjalan?

Terhadap hal ini ibu berikhtiar dengan berbagai daya upaya untuk kepentingan kita. Dibawanya kita ke dokter, atau ke dukun pijat. Ibu tak pernah menyerah manakala mlihat anaknya masih belum mampu melangkahkan kaki. Setiap ada kesempatan ia terus membimbingnya agar kaki anaknya bisa melangkah.

Ketika kita bisa berjalan, hati ibu menjadi lega. Ia merasa bahagia. “ Alhamdulillah ya Allah, anakku sudah bisa berjalan!“ tapi apa balasan kita terhadap ibu yang tak pernah lelah mengajari kita berjalan ?

Seiring dengan waktu dan pertumbuhan, kita bisa berjalan dengan sempurna. Kita sudah bisa berlari. Ibu kita tersenyum gembira. Namun ketika ibu memanggil, kita tidak mendatanginya tetapi justru lari menjauh. Inikah balas budi kita sebagai anak ? meskipun demikian, ibu tak pernah marah dan menyesal mengapa mengajari kita berjalan.

Ketika sang anak belum bisa bicara, ibu tak pernah bosan mengajarinya. Berkat jerih payah ibu yang ikhlas dan tak kenal menyerah, akhirnya kitapun bisa menirukannya bicara.

Kita bisa berkata-kata karena pendidikan ibu yang lembut. Kita bisa menata dan menyusun kalimat, juga karena ibu kita yang baik. Namun setelah kita bisa berbicara, balasan apakah yang kita berikan kepadanya?

Ya Allah, betapa besar dosaku! Manakala ibu memanggilku, justru aku tidak menghiraukan. Aku mulai membantah nasihatnya. Aku mulai berani membentaknya. Aku mulai berbicara dengan kalimat-kalimat kasar yang “menyakitkan.”

Inikah balasan anak pada orangtuanya ? tidakkah kita merenungkan betapa ibu mengandung kita Sembilan bulan. Semakin lama badannya semakin lemah. Ia menyusui selama dua tahun dengan lemah lembut. Mengasuh dan merawat kita tanpa pamrih apapun. Ya Allah, ampunilah ibu dan ayahku!

“Dan kami perintahkan kepada manusia ( berbuat baik ) kepada dua orang ibu bapaknya. Ibu telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku. Hanya kepadakulah kembalimu.“ QS. Luqman 14.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More