Kamis, 22 September 2011

Pengorbanan Seorang Ibu Part 1




Mari kita flash back (kembali ke belakang, kembali ke masa lalu). Kemudian merenungkan dengan hati yang bersih. Berpikir tentang masa lalu yang pernah kita tempuh dalam menjalani kehidpan.


Usahakan serileks mungkin jangan tegang.carilah tempat duduk yang nyaman dan memungkinkan kita untuk mengendurkan urat syaraf. Lupakan semua kesibukan hidup, sehingga saat sekarang kita tidak terikat dengan hiruk pikuk kehidupan dan masalah-masalah yang membebani pikiran.


Selanjutnya bayangkanlah ibu sedang hamil muda. Ia mengandung janin ( bakal manusia ). Seorang manusia yang sekarang sedang duduk sedang membaca artikel ini.


Ya, ibu kita telah mengandung. Ketika itu ia merasakan ada sesuatu yang tidak enak pada kesehatannya. Badan menjadi lemas tak bertenaga. Ia bertanya-tanya, ada apa dengan diriku ? tidak seperti biasanya, tubuh menjadi loyo dan kurang. Setelah diperiksakan ke dokter, ternyata ibu kita positif hamil.


Semenjak saat itu wanita mulia ini mengemban tugas berat dari Allah selama Sembilan bulan sepuluh hari kedepan. Kadang-kadang pada wanita tertentu, rasa mala situ berpengaruh pula pada nafsu makan yang terus menurun.


Setiap malam ibu kita sulit tidur. Sekujur tubuhnya mulai capek-capek. Bagian kaki terasa tegang dan nyeri terutama di betis dan lutut. Malam-malamnya tidak bisa dinikmatinya dengan nyaman.


Keesokan harinya ia mulai beraktivitas dalam keseharian. Jika ibu kita pekerja kantor, ia tetap menunaikan tugas sebagai mana mestinya. Jika sebagai ibu rumah tangga, ia tetap sabar untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan untuk anggota keluarganya. Padahal keadaan kesehatannya lemah. Namun hal itu dilakukan tanpa keluh kesah. Ia ikhlas mengandung kita meskipun dengan susah payah.


Kian hari kian berat beban yang disandangnya. Seiring dengan bertambahnya bulan, kandungan ibu semakin membesar. Semakin menyulitkan baginya dalam bergerak, duduk, maupun berbaring. Hal itu dirasakan semenjak kandungannya berusia lima bulan.


Meskipun demikian ia tidak pernah mengeluh. Ibu tidak pernah menyesal mengandung. Namun sebaliknya, hari-harinya dilalui dengan suka cita. Hari-harinya selalu dihiasi dengan harapan, agar kita nanti lahir normal dan menyenangkan.


Ini merupakan pengorbanan awal seorang ibu terhadap anaknya. Demi diri kita, ia memelihara kesehatannya. Secara rutin mengontrolkan diri ke bidan. Minum vitamin atau jamu. Ia juga berpuasa dan rajin shalat serta senantiasa berdoa kepada Allah agar kelak kita menjadi anak yang shalih. Tapi apa balasan kita ? didalam kandungan justru kita menghisap dan menghabiskan nutrisinya. Gizi yang dia makan langsung ditransfer untuk kita agar kita tumbuh normal sesuai harapan.


Ketika kandungannya semakin besar, ibu kita susah mencari posisi yang nyaman untuk membaringkan tubuhnya. Manakala bias terlelap, itupun hanya sebentar. Ia segera bangun karna terganggu keadaan badannya yang capek, kedua kakinya yang nyerih, punggung dan pinggangnya yang tegang, dan rasa tak enak lainnya. Terkadang ia mengeluh, tetapi tak pernah sekalipun menyalahkan janin yang dikandungnya. Ia sangat mencintai kita.


Tahukah kita ? ketika ibu terjatuh, ia tidak pernah mengkhawatirkan dirinya sendiri. Tetapi pikirannya mencemaskan keadaan kita di dalam kandungan. Saking khawatirnya, ia segera ke bidan atau dokter untuk memriksakan kandungannya.


Selama mengandung, sepanjang hari sang ibu tak pernah merasakan kenikmatan makanan. Ketika memasukan makanan kedalam rongga mulut dan menelannya, tiba-tiba perutnya terasa mual. Ia muntah-muntah. Keadaan yang menyiksa ini dirasakan sepanjang hari. Ya Allah, begitu besar pengorbanan ibu untuk anaknya. Sebuah pengorbanan tanpa mengharapkan balas jasa.


Semakin mendekati masa kelahiran, keadaan ibu kita semakin lemah dan hatinya cemas. Yang dipikirkan tentu saja kita, anak yang dicintai bakal lahir ke dunia. Begitulah suasana hati seorang ibu, antara cemas dan harapan.


Sekarang setelah kita dewasa, barulah menyadari betapa ibu kita sangat sengsara dalam mengandung dan menjaga diri kita dalam kandungan. Masihkah hati kita membatu dan tidak tergerak untuk berbalas budi kepadanya ? masihkah kita mementingkan diri sendiri dan menganggap ibu sebagai pembantu ? ya Allah, betapa dosanya diri ini ketika hati kami membencinya. Ya Allah betapa durhakanya diriku ketika membiarkan ibu hidup dalam keadaan tidak bahagia.

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More