Kamis, 06 Oktober 2011

Pengorbanan Seorang Ibu Part 4










Saat kita berumur lima tahun, ibu suka membelikan pakaian yang bagus-bagus. Ibu begitu bangga melihat anaknya sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian bersih.

Masya Allah perlakuan ibu yang lembut dan tulus ternyata kita balas dengan sesuatu yang buruk. Kita tidak tahu balas budi dan kebaikannya. Justru kita bermain-main lumpur sehingga tubuh dan pakaian berlepotan kotoran. Tetapi dengan tangan yang dingin dan sikap yang sabar ia rela menanggung akibatnya. Ia lepaskan pakaian kita, ia ajak kita untuk mandi, ia mencuci pakaian yang kotor itu. Ya Allah, inikah balasan seorang anak kepada ibunya yang sudah berjerih payah memberikan pakaian bagus ?

Ketika ibu melihat anak-anak berpakaian TK berangkat sekolah, ia menjadi tak sabar. “ Betapa bahagianya jika anakku sudah bersekolah seperti mereka!” demikian pikiran dalam hatinya yang suci.

Usia kita sudah enam tahun. Ibu mendaftarkan sekolah. Dihari-hari pertama, ia merasa senang karena melihat kita mengenakan pakaian seragam. Ibu sangat berharap agar kita menjadi anak yang pandai dan mendapatkan banyak pengalaman di sekolah. Namun bagaimana sikap kita di saat itu ?

Dengan lemah lembut ibu kita mengajak kita berangkat sekolah dihari pertama, namun dengan nada membentak dan berteriak-teriak kita menolak untuk pergi. Meskipun demikian ibu terus merayu dan membujuk dengan lemah lembut. Ia terus mencoba agar kita mau diantarkan sekolah.

Begitulah kasih saying ibunda. Ia sangat berbahagia ketika akhirnya kita mau diantar ke sekolah. Banyangkan pengorbanan ibunda! Demi kita, anaknya yang disayangi, ia rela tidak masuk kantor karena menunggui dengan sabar di luar kelas. Balasan apakah yang kita berikan manakala diri ini sudah dewasa kita menjadi orang pandai dan menyandang jabatan?

Semakin bertabahnya usia, sikap dan kebiasaan kita semakin merepotkan ibunda. Tak jarang kita bermain dengan teman di luar rumah dan berakhir dengan pertengkaran. Karena kenakalan itu, akibatnya anak orang lain menjadi korban. Atas perbuatan kita justru ibu yang dibuat repot. Dengan kerendahan hati ibu kita mendatangi tetangga dan minta maaf. Begitulah sang ibu! Ia berkorban demi anaknya. Namun seringkali kita tidak tahu diri. Kita tidak pernah berhenti mengganggu teman, sehingga berkali-kali ibu dengan menahan rasa malu mendatangi orangtua mereka untuk meminta maaf.

Di usia tujuh sampai Sembilan tahun kita sering membuat jengkel ibunda. Ketika kita diajak bertamu, tiba-tiba menyenggol gelas dan memecahkannya. Ketika kita asyik bermain dan lupa waktu, ibunda mencari kesana kemari dengan hati cemas.

Ibunda ingin agar anaknya pandai, meskipun dengan membayar mahal, ia bersemangat untuk mendaftarkan kita di lembaga kursus. “ya Allah, betapa besar dosaku, aku tidak pernah menghargai jerih payahnya dalam mencarikan biaya untuk kursus, Aku bukan berangkat ke tempat kursus tetapi main game di tempat lain!”

Ketika mendengar adzan ashar, ibunda memperingatkan agar kita segera shalat berjama’ah, namun kita tidak menghiraukan karena asyik bermain atau bermalas-malasan di tempat tidur. Ibunda juga mendaftarkan kita ke ustadz agar kita belajar mengaji di TPQ/TPA. Namun niat baik sang ibu yang tulus itu justru kita balas dengan kebohongan. Kita seringkali tidak berangkat ke tempat mengaji melainkan bermain-main dengan teman. “ya Allah, sungguh berdosa diriku, niat ikhlas tulus ibunda saya balas dengan kebohongan demi menuruti kesenangan sendiri.”

Sekali waktu kita minta diantar ke rumah teman atau ke sekolah atau untuk suatu keperluan. Padahal ibunda saat-saat itu sedang sibuk, namun karena kasih sayangnya ia mengorbankan waktunya untuk mengantarkan kita, namun apa balasan kita? Kita tidak berterimakasih dan tidak mencium tangannya melainkan membuka pintu mobil dan langsung meloncat keluar, inikah balasan anak terhadap ibunya?

Ibunda sudah berjerih payah belanja dan memasak di dapur, dengan harapan agar menu masakannya bisa memuaskan putra tercinta, namun ketika dengan lemah lembut menyuruh makan, kita sambut dengan sikap dingin, kita tadak menyukai masakannya. Padahal seandainya masakannya kita makan dan kita berikan pujian yang tulus, pasti kebahagian ibunda menjadi luar biasa.

Ibunda sangat bangga mempunyai anak seperti kita ini, ia perkenalkan kita kepada temannya dan meminta agar kita menjabat tangan mereka. Lihatlah senyum ibu kita begitu mengembang , itu artinya ia bangga punya anak seperti kita, namun apa balasan kita kepadanya?

Sungguh keterlaluan! Kita merasa malu memperkenalkan ibunda kepada teman-teman kita. Bahkan ketika teman-teman berkunjung ke rumah, kita sangat tidak suka jika ibunda ikut duduk bersama untuk menemani. Kita tidak pernah membanggakan ibu kita di depan orang lain, inikah anak berbakti? Meskipun demikian ibu kita mencoba untuk mengerti, ia mengalah dan menuruti kemauan kita untuk menjauh dari teman-teman kita.

Ibunda membelikan HP untuk kepentingan berkomunikasi dan memudahkan manakala dia menghubungi kita. Namun apa balas kita terhadapnya? Masya Allah, kita malah enggan mengangkat telepon manakala ibu menghubungi. Kita suka berganti-ganti kartu sehingga ibu jarang bisa berkomunikasi dengan kita jika ada sesuatu yang penting.

Ketika kita butuh kendaraan, dengan susah payah ibunda membelikan dengan cara kredit, tetapi kita tidak pernah tahu diri, motor baru itu kita preteli. Justru kita sering pulang sekolah terlambat ampai di rumah. Tahukah kita, bahwa ibu menunggu anaknya dengan hati cemas. Manakala kita sampai di rumah, ibunda menanyakan dari mana saja kita, namun kita tidak menjawab dengan baik-baik, justru berkata dengan kalimat yang menyakitkan. “ibu selalu ingin tahu urusan orang, cerewet!”

Di saat kita lulus SMA, ibu merasa ikut bersyukur dan berbahagia, apa balasan kita terhadap ibu yang sudah berjerih payah membiayai dan mendo’akan keberhasian kita? Justru kita pergi tanpa pamit untuk berpesta dengan teman-teman merayakan kelulusan hingga pagi. Tahukah perasaan ibu pada saat itu? Dia menunggunya dengan hati was-was, ketika ditelepon,kita malas mengangkatnya, hati ibunda menjadi sangat gelisah, semalaman tak bisa pejamkan mata, keluar masuk pintu dan menengok keluar, ia berdo’a untuk memastikan kita baik-baik saja, betapa durhakanya kita kepada ibunda.

“kedurhakaan” kita terus berlanjut sejalan dengan bertambahnya usia, kita tidak pernah membahagiakannya, melainkan selalu “merepotannya” meskipun ibu tidak pernah mengeluh dengan itu semua.

Ibu tidak pernah berhenti berfikir dan tak berhenti mencemaskan kita, ia gelisah sebelum kita menjadi orang yang mapan. Bayangkan, ketika kita telah lulus sarjana, ibunda selalu berdo’a agar anaknya segera mendapatkan pekerjaan.

Betapa ibu tak pernah berhenti berfikir manakala kita masih menganggur, hati senantiasa was-was manakala kita berteman dengan orang lain, ia khawatir anaknya terjerumus dan terpengaruh perbuatan buruk. Apalagi kita sering tidak pulang ke rumah tanpa memberitahukan keberadaan kita ada dimana.

Di saat kita mendapat pekerjaan, hati ibunda menjadi lega dan bersyukur. Namun apa yang bisa kita berikan sebagai balasan kepadanya? Justru kita menjadi sibuk dan sama sekali tidak menghiraukannya.

Kita tidak pernah berhenti membebani ibunda. Sampai-sampai di saat menikah saja, ia masih harus turut mengurus biaya pesta pernikahan. Setelah itu apa balasan kita kepadanya? Kita justru tidak mau berkumpul dengannya dalam satu rumah. Bahkan kita berpindah tempat di kota yang jauh dengan maksud agar tidak direpoti orangtua.

Ketika berusia 30 tahun, istri kita melahirkan. Kita punya anak, ibu sangat peduli dengan istri dan anak kita, namun I’tikad baiknya kita balas dengan penolakan. Ibunda mengajari istri kita bagaimana merawat bayi, namun kita justru berkata “itu cara kuno, sudahlah ibu jangan ikut campur tentang bayi kami!” tahukah?! Sesungguhnya kalimat seperti itu bagaikan ujung belati yang merobek-robek hatinya.

Ibu kita sudah semakin tua, ia kangen dengan kita dan cucunya. Ia ingin bermalam di rumah kita meskipun hanya sebentar, namun kita merasa sangat keberatan lalu menolaknya secara halus. Kita mengeluh jika rumah kita sempit dan tak ada kamar untuknya. Meskipun demikian, ibu mencoba untuk mengerti.

Di saat ibunda semakin renta, tubuhnya tak lagi sempurna jika berjalan, rambutnya sudah memutih, matanya telah kabur, ia sangat bersusah payah untuk melngkahkan kaki. Kesehatannya terus menerus dan mulai sakit-sakitan. Tahukah kita apa yang dia pikirkan ketika dalam keadaan sulit seperti itu? Ibu mengeluh daam hatinya, “ya Allah, seandainya di saat aku sakit dan tidak bisa apa-apa seperti ini anakku ada di sampingku, tentu keadaanku kan menjadi lain.”

Manakala ibu kita kesepian dan menghadapi sakitnya, sementara ditempat lain kita bersenang-senang. Kita tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan ibunda di saat itu, ketika dia menelepon , kita menjawab, “aku masih sibuk dengan pekerjaanku,bu!”

Padahal seandainya jika berbakti bisa saja kita menyempatkan waktu untuk bertemu ibu, namun karena sikap sang anak yang tidak tau balas budi sehingga kesibukan pekerjaan atau apapun dijadikan untuk berlindung dalam mengemukakan alasan.

Renungkanlah! Betapa besar dosa kita manakala seorang ibu yang sudah tua renta sendirian di tempat yang jauh, ketika sakit tak ada yang merawatnya, untuk makan, ia harus tertatih-tatih ke dapur untuk memasak makanan, untuk mengambil minum, mungkin dilakukannya dengan merangkak.

Keadaan seperti itu akan kita rasakan jika kelak kita telah memasuki usia udzur seperti ibunda. Ya Allah, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orangtua kami, mereka telah mengasuh dan mendidik dengan kasih saying.

dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,” wahai tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” QS. Al-Isra’ 24.

Marilah kita mencoba menarik waktu kebelakang. Dalam perjalan hidup kita, senantiasa berselimut kasih sayang ibunda. Mulai dari berupa janin hingga berumur empat puluh tahun bahkan lima puluh tahun masih saja menyulitkan ibunda. Menyulitkan dalam makna selalu menjadi beban pikirannya.

Sebelum ibu meninggalkan kita ke alam fana, masih ada kesempatan untuk berbakti dan mengasihinya meskipun tak berarti jika dibandingkan dengan pengorbanannya.

Jika kita ingin mendapatkan hidup bahagia, mudah mencari rejeki dan dijauhkan dari masalah maka mintalah doa ibu yang tulus, duduklah di bawah kakinya dan cumlah lututnya untuk meminta keridhaannya, sebab sesungguhnya doa ibu sangatlah keramat, doa ibu mampu mengubah taqdir.

Barangkali diantara kita merasakan hidup tdak beruntung, maka intropeksilah kepada dri sendiri, mungkin saja kita kurang berbakti kepada ibunda. Mungkin saja bunda sakit hati atau kecewa terhadap kita, ini sangat berbahaya karena dari doa ibu dan kekesalannya dapat mendatangkan bencana. Naudzubillah!

0 komentar:

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More